Cowok Hamil

Tidak khawatir {1}



Tidak khawatir {1}

0Ciit...!     

Mobil sedan milik Heru yang dikendarai oleh Jamal, berhenti saat Jamal menginjak rem, tepat di halaman klinik milik dokter Mirna.     

Membuka pintu mobil dengan tergesah, kemudian Jamal keluar dari dalamnya.     

Bugh!     

Setelah menutup kembali pintu, remaja yang seragam sekolahnya sudah tidak karuan itu, berjalan cepat mengitari bagian depan mobil, mendekati pintu sebelah.     

"Aduh," Rio mengaduh pada saat ia akan beranjak dari duduknya. Remaja itu tiba-tiba  merasakan sakit dibagian pingggulnya.     

Menghela napas lembut, Rio melanjutkan niatnya turun dari mobil, setelah rasa sakit itu hilang. Namun, terhenti oleh Jamal yang sudah berdiri di samping pintu yang sudah terbuka.     

"Minggir," usir Rio menyingkirkan tubuh Jamal dari hadapannya. Namun tenaganya tidak mampu membuat tubu Jamal menjauh.     

"Lu mau apa?" Heran Rio saat melihat tangan kanan Jamal menyelusup ke balik bahu, sedang tangan kiri mengulur di bawah pahanya.     

"Bopong elu bego," ucap Jamal sambil berusaha mengangkat tubuh Rio.     

"Nggak usah lebay, gue bisa jalan sendiri," hardik Rio berusaha menyingkirkan tangan Jamal. "Gue nggak apa-apa. Minggir, ah!"     

"Nggak apa-apa gimana? Lu kesakitan!" Mengabaikan penolakan, Jamal mengangkat tubuh Rio, lalu membopong, membawanya keluar dari dalam mobil.     

Membuang napas kasar, Jamal berjalan tergesah menuju klinik dokter Mirna, sambil membawa Rio dalam bopongannya.     

"Turunin gue brengsek," umpat Rio dengan suara yang tertahan. "Gue bisa jalan, ntar kalau ada yang liat gue malu bego."     

Rio terus merontah, berusaha turun dari gendongan Jamal. Namun sayang, remaja Jamal sama sekali tidak memperdulikannya.     

"Turunin Jamal, gue malu!" Kali ini Rio berbicara dengan nada membentak. Remaja itu sudah kehilangan rasa sabar, dengan sikap Jamal yang tidak mempedulikan perasaannya.     

Hal itu tentu saja membuat langkah Jamal terhenti, lantas menatap kesal remaja Rio. "Lu rese yah, jadi anak. Nggak bisa anteng bentar apa? Keselamatan anak gue lebih penting dari rasa malu elu, ngerti?!" Jamal membulatkan bola matanya, menatap Rio yang juga menatap wajahnya.     

"Diem," ucap Jamal pelan, namun penuh penekanan.     

Rio menghela napas, "terserah," ucap Rio pasrah.     

Jamal kembali melanjutkan langkah, setelah tidak ada lagi perlawanan dari Rio. Sorot matanya kini lurus, fokus menatap lorong menuju ke ruangan dimana Rio sering memeriksakan kehamilannya.     

Ditengah perjalanan, Rio baru tersadar saat melihat wajah Jamal dihiasi banyak luka. Remaja itu terdiam, menatap darah di sudut bibir, dan beberapa memar di wajah Jamal. Kelopak mata Rio mengerjap, menatap heran pada wajah yang terkesan tidak peduli dengan benyak luka di sana. Bahkan, wajah itu seperti tidak merasakan sakit sedikit pun. Tidak ada ringisan, atau guratan yang mengabarkan kesakitan pada wajah Jamal.     

"Harusnya lu khawatir sama muka lu," celetuk Rio tiba-tiba. "Gue sih nggak apa-apa, tapi coba lu liat... muka lu bonyok. Kayaknya bukan gue yang harus diperiksa, tapi elu."     

Jamal menghela napas. "Gue nggak apa-apa," aku remaja itu, tanpa menoleh ke arah Rio. "Yang penting itu anak gue. Lu nggak perlu khawatir ama gue."     

Apa? khawatir? Rio menelan ludahnya susah payah, menatap wajah Jamal yang tetap fokus ke arah jalan. Kata-kata Jamal barusan membuat dirinya merasa tertohok.     

"Gu-gue nggak khawatir sama lu," ucap Rio. Nada suaranya terdengar gugup, namun ketus dan sinis.     

Jamal membuang napas berat. "Terserah."     

Hingga akhirnya keduanya terdiam, sampai langkah kaki Jamal membawa mereka berada di depan pintu ruang rawat milik dokter Mirna.     

"Dokter!" Jamal berteriak.     

~☆~     

Di ruangan rawat, Jamal berdiri mematung di samping dokter Mirna. Remaja itu sudah tidak memperdulikan penampilan dirinya yang terlihat acak-acakan, tidak karuan. Sorot matanya menatap cemas ke arah Rio yang masih berbaring-sedang diperiksa perutnya oleh dokter Mirna.     

"Gimana dok? Apa bayinya aman?" Panik Jamal setelah dokter Mirna selesai memeriksa keadaan Rio dan kandungan-nya.     

Dokter Mirna memasukan stetoskop yang baru saja ia gunakan untuk memeriksa perut Rio, ke dalam saku jas-nya yang berwarna putih. Ia berjalan ke arah meja kerjanya, diikuti oleh Jamal mengekor dari belakang.     

Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya dokter Mirna hembuskan secara perlahan. "Untung kandungannya kuat, kalo enggak bisa bahaya. Usia kandungan Rio itu masih rawan-rawannya. Jadi musti harus hati-hati." Jelas dokter Mirna. Kemudian ia menjatuhkan pantat pada kursi putar miliknya.     

Keterangan dokter Mirna membuat Jamal menarik napas panjang, lalu ia lepaskan secara kasar. Rasanya legah sekali setelah mendengar kalau anaknya yang masih di dalam perut Rio, ternyata baik-baik saja. "Saya udah takut banget soalnya. Kirain bayinya bakalan copot, dok."     

Menggunakan telapak tangan, dokter Mirna menutupi mulutnya yang sedang tertawa. Kata-kata Jamal membuat ia merasa geli. "Copot?" batin dokter Mirna di tengah kekehannya.     

Mengabaikan kekehan dokter wanita itu, Jamal menyandarkan pantatnya pada meja kerja milik dokter Mirna. Melipat kedua tangan di dada sorot matanya menatap teduh ke arah Rio yang masih berbaring di atas tempat tidur--sedang mengkancingkan seragamnya satu persatu.     

"K-kalo Rio sendiri gimana?" Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Jamal berani menanyakan tentang keadaan Rio, meskipun dengan nada bicara yang terkesan ragu. "Baik-baik aja kan, dok?"     

Tentu saja pertanyaan Jamal membuat Rio sontak menoleh ke arahnya, lalu menatap Jamal yang juga sedang menatap dirinya. Apa iya Jamal juga mengkhawatirkan Rio? padahal tadi, ia sempat mengatakan bahwa ia tidak khawatir dengan luka di wajah Jamal. Tapi kenapa cowok itu? entahlah. Rio terdiam, menatap bola mata Jamal dengan tatapan yang sulit diartikan.     

Jamal buru-buru memalingkan wajahnya ke arah dokter Mirna, saat menyadari pandangan mereka bertemu, dan saling bersitatap selama beberapa saat. Tiba-tiba ada debaran aneh yang tidak menentu sedang ia rasakan di jantungnya--saat bola mata Rio menatapnya dalam. Aneh, tiba-tiba saja ia jadi merasa gugup?     

"Rionya juga baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir?"     

Aduh! Kenapa dokter Mirna mengatakan kalau Jamal mengkhawatirkan Rio? Hal itu tentu saja membuat cowok itu lantas jadi merasa tertohok hingga membuatnya harus menelan ludahnya susah payah.     

Tidak. Dokter Mirna salah besar, Jamal hanya khawatir pada bayinya, bukan sama Rionya. Namun meski Jamal berusaha untuk mungkir dari perasaan, tapi tetap saja ia menjadi salah tingkah.     

"-Mungkin karena yang hamil ini laki-laki jadi Rionya kuat, kandungannya juga ikut kuat. Ibu sendiri juga heran. Padahal jatuh dalam keadaan masih hamil mudah, itu bahaya lho..." lanjut dokter Mirna tanpa memperdulikan perasaan Jamal.     

Beberapa saat kemudian, terlihat dokter Mirna mengerutkan kening, ia menatap heran pada wajah Jamal dan juga penampilannya saat itu. Manik mata dokter Mirna menelusuri tubuh Jamal dari ujung kepala sampai ke bagian pinggang.     

Astaga! Gara-gara Jamal terlalu panik dan buru-buru saat baru tiba di klinik nya, membuat dokter Mirna tidak sempat memperhatikan keadaan Jamal. Ia juga baru tahu ada beberapa luka lebam di wajah dan pergelangan Jamal. Di tambah dengan seragam yang dipakai oleh Jamal, ternyata bagian kancingnya sudah terlepas semua. Dokter Mirna juga melihat ada beberapa bercak darah dan noda kotor, membuat seragam putihnya menjadi terlihat kusam.     

"Yaampun... kayaknya yang perlu dikhawatirkan keadaannya itu kamu, jems. Kamu habis berantem? Kenapa bisa sampai babak belur begini?" Dokter Mirna menatap miris kepada kondisi Jamal. "Kamu sekalian ibu periksa ya?" Tawar dokter Mirna.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.